"Hey! I'm Eggy. Thank's for visiting ga je Blog! Please have a seat and make yourself comfy while reading my blog."

Rabu, 11 September 2013

Scrapbook (Cerpen)


“Here's a thought for every man who tries to understand
What is in his hands?
He walks along the open road of love and life
Survivin' if he can”

Suara Liam menggema di telingaku. Sore itu, hujan baru saja berhenti. Pekat aroma tanah basah pun merasuk kedalam sistem pernapasanku. Masih menetes butiran-butiran air langit dari atas genting dan dedaunan. Udarapun terasa cukup sejuk sampai membuatku enggan untuk melepaskan jaket parka berwarna hijau army yang sedang kukenakan.
Sore ini, jam sekolah telah selesai. Para siswa pun mulai meninggalkan sekolah. Secara perlahan menyisakan keheningan dan kesunyian. Dan, di sinilah aku. Duduk di bangku panjang yang terbuat dari semen di depan kelas ku. Menunggu seorang wanita yang sangat kucintai selesai kumpul sore dengan klub sainsnya.

“Bound with all the weight of all the words he tried to say
Chained to all the places is that he never wished to stay
Bound with all the weight of all the words he tried to say
As he faced the sun he cast no shadow”


“Galih, ....”
Aku mendengar suara wanita dari belakangku. Suaranya sangat lembut, pelan dan agak ragu. Aku pun melepas headset dari telingaku dan menoleh kebelakang. Aku melihat seorang wanita yang sangat kukenali. Wanita yang sangat aku cintai dan sayangi. Dulu.
“Masih nunggu Annisa?” ia bertanya dengan nada yang sangat bersahabat.
“Iya,” jawabku datar. Aku pun memasang headset-ku dan kembali memperhatikan butiran-butiran air langit yang terjun bebas dari atas genting. Memunggungi wanita itu seakan tidak ada siapa-siapa di belakangku.
“Galih, kamu bisa gak sih berhenti bersikap kayak gini? Apa kamu masih marah?” kata wanita itu dengan kesal karena merasa diacuhkan.
Aku masih asik dengan headset-ku. Masih tetap memunggunginya dan menganggap tidak ada siapa-siapa di belakangku.
“Galih! Dengerin aku dong! Aku tau aku salah ....” Wanita itu mendekatkan dirinya padaku dan berdiri tepat di sebelah ku. “... Aku minta maaf. Aku masih sayang sama kamu, sampai kapan pun,” lanjutnya dengan suara yang agak pelan.
Aku melepaskan headset-ku dan kubiarkan menggantung di leherku.
“Masih sayang? Hahaha, kok bisa yah kamu bilang kayak gitu setelah kejadian enam bulan lalu?” tanyaku sinis sambil menoleh padanya. Aku menatap matanya dalam-dalam.
               
***

“Hey, Galih! Mau kemana? Buru-buru banget? Temenin ke kantin yuuuk.” Annisa mengajakku dengan nada memohon.
Oh, hey Nis. Sorry, can’t talk too much. I’m in a hurry! Today’s gonna be my special day! Haha.” Aku berjalan terburu-buru melewati sahabatku itu.
Oh! Yeah, i got it! Good luck with that, pal!!” Annisa setengah berteriak padaku yang mulai berjalan menjauh.
“Hahaha, thanks! Don’t tell her!!” Aku mengatakannya sambil berjalan mundur untuk melihat Annisa.
Roger that, sir! Hahaha.”
Oooh! Sorry, can’t give you a ride today!!” Aku masih berjalan mundur dan sedikit menunjukkan rasa penyesalan kepada sahabatku itu.
Yah, kami biasa pergi ke kantin setelah jam sekolah berakhir dan pulang bersama.
Okaaay!!” Annisa membuat lingkaran di depan mulutnya dengan kedua telapak tangannya karena aku berjalan semakin jauh dari tempatnya berdiri. Lalu menunjukkan senyumnya yang sangat manis untuk memastikanku dia akan baik-baik saja.
Aku berjalan menyusuri koridor di depan kelas-kelas yang sudah kosong karena jam sekolah baru saja berakhir setengah jam lalu. Aku berjalan dengan agak cepat dan penuh semangat. Rasa senangku hampir tak terbendung, membuat langkahku terasa amat ringan untuk berjalan.
Hari ini adalah anniversary-ku yang pertama bersama pacarku. Dengan setangkai mawar yang kubeli saat berangkat sekolah tadi dan sebuah scrapbook berisi beberapa foto kami yang telah kususun rapih sejak beberapa hari lalu, aku berjalan menuju ruang OSIS. Tak sabar ingin kulihat mimik wajahnya saat melihat kejutan kecil dariku ini setelah jenuh mengikuti rapat dengan pengurus OSIS lainnya.
Saat mendekati ruang OSIS, aku berjalan berjingkat agar langkahku tidak terdengar. Secara perlahan aku mengintip ruang OSIS itu. Sepi. Tidak ada siapa-siapa. Tak ada tanda-tanda bekas rapat atau semacamnya. Aku masuk ke dalam ruangan gelap dan hening itu.
“Hmmm ... hmmm ... hmmm ....”
Samar-samar aku mendengar suara dari balik lemari buku besar tempat para pengurus OSIS menyimpan berkas yang membelah ruangan itu menjadi dua bagian. Aku mendekatinya dengan ragu. Aku melihat dua sosok anak manusia. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Saling berpaut bibir dengan lembut dan amat mesra di tengah kesunyian ruang gelap ini. Aku sangat mengenal kedua sosok anak manusia ini.
BUG!!
Secara tak sadar aku menjatuh kan sebuah scrapbook dan setangkai mawar yang dari tadi ku genggam dengan erat. Mereka pun berhenti dan memandangku dengan agak terkejut. Aku tak percaya dengan apa yang sedang kulihat. Dadaku terasa sesak seketika.
“Via ....” Aku memanggilnya untuk memastikan bahwa itu memang benar pacarku. Belahan jiwaku.
“Umm, Vi, aku tunggu di mobil ya.” Laki-laki di sebelah Via berjalan keluar ruangan dengan angkuh. Sekilas menunjukan seringainya padaku saat melewatiku. Yah, aku kenal orang ini. Aku kenal laki-laki ini. Dia adalah playboy tengik yang sudah terkenal namanya di sekolah ini. Randy.
Aku menatap Via dalam-dalam. Heran. Tak percaya dengan kejadian barusan. Meminta kejelasan apa yang baru saja kulihat.
“Itu Randy,” kata Via santai.
“Aku tau itu Randy. Siapa yang gak kenal dengannya?” kataku sambil sedikit menaikkan kedua bahuku. “Kamu sadarkan kalo dia itu playboy?” tanyaku.
“Aku seratus persen sadar. Asal kamu tau aja ya, Randy udah berhenti jadi playboy. Dia juga udah berjanji untuk setia sama aku.”
“Apa? Tapi kamu kan udah punya aku.” Aku heran dengan cara bicaranya yang santai dan seakan tanpa dosa.
“Mungkin, karena dia jauh lebih baik dari kamu.”
DEG!! Jantungku seperti berhenti untuk sesaat.
“Oh ya? Dalam hal apa?!”
“Yaaaah, kamu juga taulah, dia kaya, dia kapten klub basket, salah satu orang penting juga di OSIS, punya banyak prestasi. Yaaah, aku rasa dia lebih baik darimu atas segalanya.” Via mengatakannya dengan bangga.
Aku terdiam. Dadaku terasa sangat sakit. Seperti ada tombak yang menghujam tepat di dadaku dengan keras.
“Sudah berapa lama?” tanyaku pelan.
“Tiga bulan.” Via menjawab dengan mantap.
Tombak yang menghujam dadaku kini menancap semakin dalam sampai akhirnya tembus ke belakang. Selama tiga bulan dia bersama Randy tanpa sepengetahuanku. Pintar sekali dia menyembunyikan semuanya. Bahkan sampai tak tercium sedikit pun bau busuk permainannya.
“Sudahlah, ada seseorang yang sedang menungguku dengan, mobilnya,” Via mengatakannya dengan melakukan penekanan suaranya pada kata mobil. Dia berjalan keluar ruangan. Melewatiku dengan santainya.
“Vi, tapi kamu ingetkan hari ini adalah anniversary kita yang pertama?”
“Jadi hari ini ya anniv-nya? Hmm, tapi sayang, aku rasa, hubungan kita cukup sampai di sini aja. Happy failed anniversary Galih. Hahahaha.” Via mengatakannya tanpa menghentikannya langkahnya sedikit pun.
Aku berjalan keluar ruangan dengan lunglai. Memandangi punggung Via dari jauh sampai dia berbelok keluar sekolah, menuju mobil Randy. Aku terkulai lemas. Jantungku seakan robek dibuatnya. Sore itu, menjadi sore terburuk dalam hidupku.

***

“Galih, aku nyesel. Aku pengen kamu tau kalo aku ini bener-bener mencintaimu. Aku bener-bener sayang ama kamu,” kata Via sambil menunjukan rasa bersalahnya.
“Enggak Vi, aku udah cukup sakit. Aku gak mau kejadian waktu itu terulang untuk kedua kalinya.”
Via merogoh dan mengeluarkan sesuatu dari tas punggunnya. Scrapbook. Benda yang kutinggalkan di ruang OSIS waktu itu. Tak kusangka dia menyimpannya.
“Lihat, aku masih menyimpannya dan masih aku rawat dengan baik biar gak rusak,” kata Via sambil menunjukkan scrapbook itu dengan kedua tangannya. “Aku sadar. Aku gak bisa ngegantiin kamu dengan siapa pun di hati aku.” Via menatapku penuh penyesalan. Berusaha meyakinkanku.
Aku memperhatikan scrapbook di tangannya dan beralih memandang kedua bola mata Via.
“Vi, itu gak akan ngerubah apapun. Lagipula, aku sudah punya Annisa.”
I can wait. Aku akan selalu menunggumu sampai kapanpun. Even i know it’s too late.” Via tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya dariku.
Give it to me!” Aku merampas scrapbook dari kedua tangan mungilnya.
BRAAAAAKKKK!!!!!!
Dengan sekejap mata, aku melempar scrapbook itu ke dinding kelas sampai hancur berantakan. Seketika, air mata Via tumpah, ia tak mampu membendungnya lagi. Ia sangat terkejut dengan apa yang kulakukan.
“Kamu lihat itu?! Yah, seperti itulah caramu membuangku waktu itu. Sampai hancur berantakan!!” Tak sadar nada bicaraku semakin meninggi. Nafasku mulai memburu.
Via tertunduk. Menangis tersedu-sedu. Ketakutan. Aku pun mulai menenangkan diriku kembali. Mencoba untuk mengontrol emosiku agar tidak meledak lagi.
“Vi, aku minta maaf. Aku tau Randy ninggalin kamu untuk wanita lain beberapa bulan lalu. Tapi kamu gak bisa langsung nemuin aku dan bilang masih mencintai aku. Gak semudah itu Vi. Kamu udah ngebuang aku kayak sampah yang gak ada gunanya sedikit pun di matamu ....” Aku menghela nafas sambil memegang kedua bahunya.
“... kamu gak bisa selalu mendapatkan apa yang kamu mau dan membuang apa yang kamu tidak mau. Dunia ini gak selalu tentang dirimu.” Aku mengatakannya dengan pelan.
Via menatapku dengan matanya yang sembap. Air matanya tak berhenti mengalir. Aku rasa sekarang dia benar-benar sadar dengan apa yang telah dilakukannya enam bulan lalu padaku.
“Saat kamu meninggalkan pacarmu untuk laki-laki yang lebih kaya atau lebih hebat atas segalanya, sudah seharusnya kamu siap bila dia meninggalkanmu untuk wanita yang lebih cantik darimu nantinya.” Aku mencoba menasihatinya.
Via terduduk di hadapanku. Tak tahu mau bicara apa. Sebuah penyesalan yang teramat besar menimpa dirinya. Dia melihat scrapbook buatanku enam bulan lalu yang kini telah hancur berantakan. Berserakan di lantai yang tak begitu bersih. Dia mulai mengumpulkan bagian-bagian scrapbook yang tercecer. Aku tahu dia berniat untuk menyusun dan memperbaikinya kembali nanti. Aku menatapnya dengan rasa iba. Via terpenjara dan tersiksa oleh rasa penyesalannya sendiri.
Beep beep, beep beep. Ponselku berdering. Ada SMS masuk, dari orang yang sudah kutunggu-tunggu kabarnya sejak jam sekolah berakhir. Pacarku. Annisa.
Sayang, aku udah selesai nih. Aku nunggu di lab yaa :*

“Vi, aku harus pergi. Annisa menungguku. Jaga dirimu baik-baik.” Aku berjalan menyusuri koridor menuju laboratorium milik klub sains. Meninggalkan Via dengan scrapbook yang berserakan dihadapannya dan juga rasa penyesalannya.
“Galih, ....” Via memanggilku.
Aku pun menghentikan langkahku sebentar. Via bangkit dari duduknya. Berdiri mematung.
“Aku akan tetap menunggumu. Apapun yang terjadi.” Via mengusap air matanya dan mencoba untuk tersenyum kembali.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Lalu tertunduk mendengar perkataanya. Aku pun melanjutkan langkahku menuju lab milik klub sains yang ada di ujung sekolah tanpa sedikit pun menoleh pada Via. Aku tahu Via masih di sana. Masih berdiri mematung. Menatapku penuh harap agar aku menatap balik pada dirinya yang sedang mencoba untuk tetap terlihat tegar.

Sumber gambar:
http://elywrites.wordpress.com/2012/10/25/mini-anniversary-scrapbook-album/

6 komentar:

  1. ga ada yg lebih menyakitkan dari melihat pacar cipokan sama orang lain
    #gantung diri di monas
    btw anisa sama via cakepan mana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. dua duanya cantik, cuma annisa lebih dewasa dari via hehehe

      Hapus
  2. Haha, ini kenapa malah pada bahas cakep-cakepan? :D

    BalasHapus
  3. egiii.. ini cerita nyesek amat.. parah.. :'(

    BalasHapus
  4. kok.....bikin gw sakit hati ye? :|

    BalasHapus
  5. kok kaya gue yah, cuma bedanya gue cewe aja...
    diputusin pas hari jadi hahahaha

    BalasHapus

ko cuma baca doang? di komen laaaaah..

Hujan