“Here's a thought for every man who tries to understand
What is in his hands?
He walks along the open road of love and
life
Survivin' if he can”
Suara Liam menggema di telingaku. Sore itu, hujan
baru saja berhenti. Pekat aroma tanah basah pun merasuk kedalam sistem pernapasanku.
Masih menetes butiran-butiran air langit dari atas genting dan dedaunan.
Udarapun terasa cukup sejuk sampai membuatku enggan untuk melepaskan jaket
parka berwarna hijau army yang sedang
kukenakan.
Sore ini, jam sekolah telah selesai. Para siswa pun
mulai meninggalkan sekolah. Secara perlahan menyisakan keheningan dan kesunyian.
Dan, di sinilah aku. Duduk di bangku panjang yang terbuat dari semen di depan
kelas ku. Menunggu seorang wanita yang sangat kucintai selesai kumpul sore
dengan klub sainsnya.
“Bound with all the weight of all the words
he tried to say
Chained to all the places is that he never
wished to stay
Bound with all the weight of all the words
he tried to say
As he faced the sun he cast no shadow”
“Galih, ....”
Aku mendengar suara wanita dari belakangku.
Suaranya sangat lembut, pelan dan agak ragu. Aku pun melepas headset dari telingaku dan menoleh
kebelakang. Aku melihat seorang wanita yang sangat kukenali. Wanita yang sangat
aku cintai dan sayangi. Dulu.
“Masih nunggu Annisa?” ia bertanya dengan nada yang
sangat bersahabat.
“Iya,” jawabku datar. Aku pun memasang headset-ku dan kembali memperhatikan
butiran-butiran air langit yang terjun bebas dari atas genting. Memunggungi
wanita itu seakan tidak ada siapa-siapa di belakangku.
“Galih, kamu bisa gak sih berhenti bersikap kayak
gini? Apa kamu masih marah?” kata wanita itu dengan kesal karena merasa diacuhkan.
Aku masih asik dengan headset-ku. Masih tetap memunggunginya dan menganggap tidak ada
siapa-siapa di belakangku.
“Galih! Dengerin aku dong! Aku tau aku salah ....”
Wanita itu mendekatkan dirinya padaku dan berdiri tepat di sebelah ku. “... Aku
minta maaf. Aku masih sayang sama kamu, sampai kapan pun,” lanjutnya dengan
suara yang agak pelan.
Aku melepaskan headset-ku
dan kubiarkan menggantung di leherku.
“Masih sayang? Hahaha, kok bisa yah kamu bilang
kayak gitu setelah kejadian enam bulan lalu?” tanyaku sinis sambil menoleh padanya.
Aku menatap matanya dalam-dalam.
***
“Hey, Galih! Mau kemana? Buru-buru banget? Temenin
ke kantin yuuuk.” Annisa mengajakku dengan nada memohon.
“Oh, hey Nis.
Sorry, can’t talk too much. I’m in a hurry! Today’s gonna be my special day!
Haha.” Aku berjalan terburu-buru melewati sahabatku itu.
“Oh! Yeah, i
got it! Good luck with that, pal!!” Annisa setengah berteriak padaku yang
mulai berjalan menjauh.
“Hahaha, thanks!
Don’t tell her!!” Aku mengatakannya sambil berjalan mundur untuk melihat
Annisa.
“Roger that,
sir! Hahaha.”
“Oooh! Sorry,
can’t give you a ride today!!” Aku masih berjalan mundur dan sedikit menunjukkan
rasa penyesalan kepada sahabatku itu.
Yah, kami biasa pergi ke kantin setelah jam sekolah
berakhir dan pulang bersama.
“Okaaay!!”
Annisa membuat lingkaran di depan mulutnya dengan kedua telapak tangannya
karena aku berjalan semakin jauh dari tempatnya berdiri. Lalu menunjukkan
senyumnya yang sangat manis untuk memastikanku dia akan baik-baik saja.
Aku berjalan menyusuri koridor di depan kelas-kelas
yang sudah kosong karena jam sekolah baru saja berakhir setengah jam lalu. Aku
berjalan dengan agak cepat dan penuh semangat. Rasa senangku hampir tak
terbendung, membuat langkahku terasa amat ringan untuk berjalan.
Hari ini adalah anniversary-ku
yang pertama bersama pacarku. Dengan setangkai mawar yang kubeli saat berangkat
sekolah tadi dan sebuah scrapbook
berisi beberapa foto kami yang telah kususun rapih sejak beberapa hari lalu,
aku berjalan menuju ruang OSIS. Tak sabar ingin kulihat mimik wajahnya saat
melihat kejutan kecil dariku ini setelah jenuh mengikuti rapat dengan pengurus
OSIS lainnya.
Saat mendekati ruang OSIS, aku berjalan berjingkat
agar langkahku tidak terdengar. Secara perlahan aku mengintip ruang OSIS itu.
Sepi. Tidak ada siapa-siapa. Tak ada tanda-tanda bekas rapat atau semacamnya.
Aku masuk ke dalam ruangan gelap dan hening itu.
“Hmmm ... hmmm ... hmmm ....”
Samar-samar aku mendengar suara dari balik lemari
buku besar tempat para pengurus OSIS menyimpan berkas yang membelah ruangan itu
menjadi dua bagian. Aku mendekatinya dengan ragu. Aku melihat dua sosok anak
manusia. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Saling berpaut bibir dengan
lembut dan amat mesra di tengah kesunyian ruang gelap ini. Aku sangat mengenal
kedua sosok anak manusia ini.
BUG!!
Secara tak sadar aku menjatuh kan sebuah scrapbook dan setangkai mawar yang dari
tadi ku genggam dengan erat. Mereka pun berhenti dan memandangku dengan agak
terkejut. Aku tak percaya dengan apa yang sedang kulihat. Dadaku terasa sesak
seketika.
“Via ....” Aku memanggilnya untuk memastikan bahwa
itu memang benar pacarku. Belahan jiwaku.
“Umm, Vi, aku tunggu di mobil ya.” Laki-laki di
sebelah Via berjalan keluar ruangan dengan angkuh. Sekilas menunjukan
seringainya padaku saat melewatiku. Yah, aku kenal orang ini. Aku kenal
laki-laki ini. Dia adalah playboy tengik yang sudah terkenal namanya di sekolah
ini. Randy.
Aku menatap Via dalam-dalam. Heran. Tak percaya
dengan kejadian barusan. Meminta kejelasan apa yang baru saja kulihat.
“Itu Randy,” kata Via santai.
“Aku tau itu Randy. Siapa yang gak kenal dengannya?”
kataku sambil sedikit menaikkan kedua bahuku. “Kamu sadarkan kalo dia itu
playboy?” tanyaku.
“Aku seratus persen sadar. Asal kamu tau aja ya,
Randy udah berhenti jadi playboy. Dia juga udah berjanji untuk setia sama aku.”
“Apa? Tapi kamu kan udah punya aku.” Aku heran
dengan cara bicaranya yang santai dan seakan tanpa dosa.
“Mungkin, karena dia jauh lebih baik dari kamu.”
DEG!!
Jantungku seperti berhenti untuk sesaat.
“Oh ya? Dalam hal apa?!”
“Yaaaah, kamu juga taulah, dia kaya, dia kapten
klub basket, salah satu orang penting juga di OSIS, punya banyak prestasi.
Yaaah, aku rasa dia lebih baik darimu atas segalanya.” Via mengatakannya dengan
bangga.
Aku terdiam. Dadaku terasa sangat sakit. Seperti
ada tombak yang menghujam tepat di dadaku dengan keras.
“Sudah berapa lama?” tanyaku pelan.
“Tiga bulan.” Via menjawab dengan mantap.
Tombak yang menghujam dadaku kini menancap semakin
dalam sampai akhirnya tembus ke belakang. Selama tiga bulan dia bersama Randy
tanpa sepengetahuanku. Pintar sekali dia menyembunyikan semuanya. Bahkan sampai
tak tercium sedikit pun bau busuk permainannya.
“Sudahlah, ada seseorang yang sedang menungguku
dengan, mobilnya,” Via mengatakannya dengan melakukan penekanan suaranya pada
kata mobil. Dia berjalan keluar ruangan. Melewatiku dengan santainya.
“Vi, tapi kamu ingetkan hari ini adalah anniversary kita yang pertama?”
“Jadi hari ini ya anniv-nya? Hmm, tapi sayang, aku rasa, hubungan kita cukup sampai
di sini aja. Happy failed anniversary
Galih. Hahahaha.” Via mengatakannya tanpa menghentikannya langkahnya sedikit
pun.
Aku berjalan keluar ruangan dengan lunglai.
Memandangi punggung Via dari jauh sampai dia berbelok keluar sekolah, menuju
mobil Randy. Aku terkulai lemas. Jantungku seakan robek dibuatnya. Sore itu,
menjadi sore terburuk dalam hidupku.
***
“Galih, aku nyesel. Aku pengen kamu tau kalo aku
ini bener-bener mencintaimu. Aku bener-bener sayang ama kamu,” kata Via sambil
menunjukan rasa bersalahnya.
“Enggak Vi, aku udah cukup sakit. Aku gak mau kejadian
waktu itu terulang untuk kedua kalinya.”
Via merogoh dan mengeluarkan sesuatu dari tas
punggunnya. Scrapbook. Benda yang
kutinggalkan di ruang OSIS waktu itu. Tak kusangka dia menyimpannya.
“Lihat, aku masih menyimpannya dan masih aku rawat
dengan baik biar gak rusak,” kata Via sambil menunjukkan scrapbook itu dengan kedua tangannya. “Aku sadar. Aku gak bisa
ngegantiin kamu dengan siapa pun di hati aku.” Via menatapku penuh penyesalan.
Berusaha meyakinkanku.
Aku memperhatikan scrapbook di tangannya dan beralih memandang kedua bola mata Via.
“Vi, itu gak akan ngerubah apapun. Lagipula, aku
sudah punya Annisa.”
“I can wait.
Aku akan selalu menunggumu sampai kapanpun. Even
i know it’s too late.” Via tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya
dariku.
“Give it to
me!” Aku merampas scrapbook dari kedua
tangan mungilnya.
BRAAAAAKKKK!!!!!!
Dengan sekejap mata, aku melempar scrapbook itu ke dinding kelas sampai
hancur berantakan. Seketika, air mata Via tumpah, ia tak mampu membendungnya
lagi. Ia sangat terkejut dengan apa yang kulakukan.
“Kamu lihat itu?! Yah, seperti itulah caramu membuangku
waktu itu. Sampai hancur berantakan!!” Tak sadar nada bicaraku semakin meninggi.
Nafasku mulai memburu.
Via tertunduk. Menangis tersedu-sedu. Ketakutan.
Aku pun mulai menenangkan diriku kembali. Mencoba untuk mengontrol emosiku agar
tidak meledak lagi.
“Vi, aku minta maaf. Aku tau Randy ninggalin kamu
untuk wanita lain beberapa bulan lalu. Tapi kamu gak bisa langsung nemuin aku dan
bilang masih mencintai aku. Gak semudah itu Vi. Kamu udah ngebuang aku kayak
sampah yang gak ada gunanya sedikit pun di matamu ....” Aku menghela nafas
sambil memegang kedua bahunya.
“... kamu gak bisa selalu mendapatkan apa yang kamu
mau dan membuang apa yang kamu tidak mau. Dunia ini gak selalu tentang dirimu.”
Aku mengatakannya dengan pelan.
Via menatapku dengan matanya yang sembap. Air matanya tak
berhenti mengalir. Aku rasa sekarang dia benar-benar sadar dengan apa yang
telah dilakukannya enam bulan lalu padaku.
“Saat kamu meninggalkan pacarmu untuk laki-laki
yang lebih kaya atau lebih hebat atas segalanya, sudah seharusnya kamu siap
bila dia meninggalkanmu untuk wanita yang lebih cantik darimu nantinya.” Aku
mencoba menasihatinya.
Via terduduk di hadapanku. Tak tahu mau bicara apa.
Sebuah penyesalan yang teramat besar menimpa dirinya. Dia melihat scrapbook buatanku enam bulan lalu yang
kini telah hancur berantakan. Berserakan di lantai yang tak begitu bersih. Dia mulai
mengumpulkan bagian-bagian scrapbook
yang tercecer. Aku tahu dia berniat untuk menyusun dan memperbaikinya kembali
nanti. Aku menatapnya dengan rasa iba. Via terpenjara dan tersiksa oleh rasa
penyesalannya sendiri.
Beep beep,
beep beep. Ponselku berdering. Ada SMS masuk, dari orang yang sudah kutunggu-tunggu kabarnya sejak jam sekolah berakhir. Pacarku. Annisa.
Sayang, aku udah
selesai nih. Aku nunggu di lab yaa :*
“Vi, aku harus pergi. Annisa menungguku. Jaga
dirimu baik-baik.” Aku berjalan menyusuri koridor menuju laboratorium milik
klub sains. Meninggalkan Via dengan scrapbook
yang berserakan dihadapannya dan juga rasa penyesalannya.
“Galih, ....” Via memanggilku.
Aku pun menghentikan langkahku sebentar. Via
bangkit dari duduknya. Berdiri mematung.
“Aku akan tetap menunggumu. Apapun yang terjadi.”
Via mengusap air matanya dan mencoba untuk tersenyum kembali.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Lalu tertunduk mendengar perkataanya. Aku pun melanjutkan langkahku menuju lab milik klub sains yang ada di ujung sekolah tanpa sedikit pun menoleh pada Via. Aku tahu Via masih di sana. Masih berdiri mematung. Menatapku penuh harap agar aku menatap balik pada dirinya yang sedang mencoba untuk tetap terlihat tegar.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Lalu tertunduk mendengar perkataanya. Aku pun melanjutkan langkahku menuju lab milik klub sains yang ada di ujung sekolah tanpa sedikit pun menoleh pada Via. Aku tahu Via masih di sana. Masih berdiri mematung. Menatapku penuh harap agar aku menatap balik pada dirinya yang sedang mencoba untuk tetap terlihat tegar.
Sumber gambar:
http://elywrites.wordpress.com/2012/10/25/mini-anniversary-scrapbook-album/
ga ada yg lebih menyakitkan dari melihat pacar cipokan sama orang lain
BalasHapus#gantung diri di monas
btw anisa sama via cakepan mana?
dua duanya cantik, cuma annisa lebih dewasa dari via hehehe
HapusHaha, ini kenapa malah pada bahas cakep-cakepan? :D
BalasHapusegiii.. ini cerita nyesek amat.. parah.. :'(
BalasHapuskok.....bikin gw sakit hati ye? :|
BalasHapuskok kaya gue yah, cuma bedanya gue cewe aja...
BalasHapusdiputusin pas hari jadi hahahaha